Senin, 14 Juli 2008

Bioremediasi rumput laut dalam budidaya

Peran Rumput Laut Dalam Budidaya

1. Identifikasi Masalah
Dalam usaha budidaya udang, baik tradisional maupun intensif, ada dua kendala utama yang berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan yaitu : pertama, faktor eksternal seperti fluktuasi kualitas air tawar dan air laut yang digunakan. Pada tambak udang dengan sistim budidaya tradisional, kualitas air sangat tergantung kepada suplai air yang diterima, sedangkan pada budidaya udang secara intensif, fluktuasi kualitas air tambak dapat ditekan dengan memasukan air laut dan air tawar terlebih dahulu kedalam kolam tandon (equalization pond), sehingga setelah kualitas air yang dibutuhkan untuk budidaya udang dicapai, baru disalurkan ketambak yang akan ditanami.
Kedua, faktor internal yang mencakup pengolahan tanah/ sedimen setelah panen, aerasi dan pemberian pakan selama periode pemeliharaan udang. Pengolahan lumpur biasanya dilakukan baik pada budidaya tradisional maupun intensif. Sedangkan perlakuan aerasi lebih banyak dijumpai pada budidaya intensif, terutama untuk memasok kebutuhan oksigen udang. Sistem budidaya intensif yang selama ini dikembangkan merupakan salah satu penyebab terjadinya keterpurukan dalam sistem budidaya. Hal ini disebabkan karena sistem budidaya intensif dilaksanakan dengan padat penebaran tinggi, sehingga memerlukan jumlah pakan yang besar. Menurut Jones (1995), sebagian besar (70-80%) pakan yang diberikan tidak terkonsumsi oleh udang. Hal ini akan meningkatkan akumulasi sisa pakan, sehingga konsumsi oksigen, konsentrasi amonia, nitrit dan nitrat dalam budidaya meningkat. Meningkatnya senyawa senyawa ini, akan meningkatkan pertumbuhan dan kepadatan fitoplankton. Kepadatan fitoplankton yang tinggi menimbulkan peristiwa ledakan populasi ("blooming"), yang diikuti oleh kematian masal ("die off") fitoplankton. Peristiwa ledakan populasi dan kematian masal fitoplankton akan memperburuk kualitas air tambak, sehingga produksi udang windu menurun. Penurunan kualitas air tambak dapat pula memacu timbulnya berbagai macam penyakit pada udang .
Dalam mengatasi permasalah diatas perlu suatu solusi yang tepat agar tidak menimbulkan masalah baru, Salah satu cara yang diangga efektif untuk mengatasi permasalahan itu adalah dengan cara melakukan bioremidiasi kualitas air yang digunakan dalam budidaya. Bioremediasi didefinisikan sebagai penggunaan organisme hidup, terutama mikroorganisme, untuk mendegradasi pencemar lingkungan yang merugikan ketingkat atau bentuk yang lebih aman.

2. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah melalui rekayasa ekologis, dengan budidaya ganda udang - rumput laut. Rekayasa ekologis merupakan salah satu cara pengelolaan budidaya yang menguntungkan baik bagi manusia maupun lingkungan alam. Prinsip dasar dari rekayasa ekologis adalah memanfaatkan dan meningkatkan kemampuan organisasi mandiri ("self organisation") suatu budidaya, dengan jalan memberikan sebuah faktor pemicu ("forcing function") yang akan mengarahkan proses ekofisiologis, sehingga budidaya dapat berfungsi sesuai dengan yang dikehendaki. Adanya faktor pemicu, menyebabkan budidaya mengubah atau membentuk struktur komunitas baru yang akan menentukan arah dan perubahan kondisi fisik, kimia dan biologis. Selanjutnya, proses perubahan ini akan menentukan fungsi budidaya. Salah satu fungsi budidaya perairan tambak adalah untuk produksi udang.

3. Konsep Teoritis
Kehadiran rumput laut dalam budidaya perairan tambak akan membentuk struktur komunitas baru yang dapat memperkuat fungsi komponen autotrof. Melalui fotosintesis, komponen autotrof dapat meningkatkan kualitas air tambak dengan jalan meningkatkan produksi oksigen dan pH perairan, serta menurunkan konsentrasi amonia, nitrit dan nitrat. Peningkatan kualitas air tambak diperkirakan dapat berpengaruh meningkatkan produktivitas udang windu. Sementara itu, kemampuan rumput laut dalam menyerap nutrisi diperkirakan dapat meningkatkan jumlah energi yang dapat dipanen dari perairan tambak.
Menurut Odum (1989), kehadiran tumbuhan akuatik dapat mendukung perkembangan komponen lain dalam suatu ekosistem, sehingga akan menghasilkan jaring makanan yang lebih kompleks, pola daur ulang materi dan mekanisme pengendalian populasi, sehingga akan menghasilkan lebih banyak sumber daya dan meningkatkan efisiensi aliran materi dalam budidaya. Menurut Jongsong dan Honglu (1989), susunan budidaya yang dibentuk melalui rekayasa ekologis dapat menghasilkan struktur komunitas biotik yang lebih lengkap, sehingga dapat terjadi interaksi antar komponen budidaya yang lebih kompleks. Dengan demikian, siklus materi dalam budidaya dapat berlangsung secara berlapis ("multilayer") dan bertahap.
Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa rumput laut Sargassum polycistum layak untuk digunakan dalam budidaya dengan udang windu, karena terbukti dapat menghasilkan senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen, Vibrio harveyi. Akan tetapi, penambahan ekstrak Sargassum kedalam perairan tambak berdampak negatif terhadap kualitas air tambak dan produktivitas udang windu. Kemungkinan, hal ini disebabkan karena penambahan ekstrak Sargassum menyebabkan meningkatnya konsentrasi bahan organik, sehingga kualitas air tambak menurun. Selain itu, senyawa tanin dalam ekstrak Sargassum diperkirakan dapat menghambat pertumbuhan dan menurunkan kelulus hidupan udang windu.
]Pada penelitian tahap tahap pertama, Sargassum mengalami kerusakan oleh hujan yang turun pada waktu penelitian ini berlangasung. Karena mengalami kerusakan, Sargassum tidak dapat menunjukkan peranannya dalam memperbaiki kualitas air tambak, sehingga fungsi ekosistem untuk produksi udang windu juga tidak dapat ditingkatkan. Meskipun demikian, model budidaya udang windu-Sargassum ini secara signifikan dapat meningkatkan kecerahan air tambak dan rerata panjang akhir udang windu. Oleh karena itu, penelitian tentang model budidaya udang windu-Sargassum kembali dilakukan pads penelitian tahap ke II, dan dihentikan sebelum turun hujan. Selain itu, penelitian ini dikembangkan juga dengan menggunakan jenis rumput laut lain, yaitu Gracillaria verrucosa. Jenis rumput taut ini tahan terhadap hujan, mempunyai kecepatan pertumbuhan dan nilai komersial yang tinggi.
Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bahwa, Selama waktu budidaya, terjadia penurunan kualitas air secara signifikan. Sargassum yang tidak mengalami kerusakan dapat menghasilkan model budidaya dengan kualitas air tambak dan produktivitas udang windu yang lebih tinggi dibanding dengan kontrol. Dengan Sargassum, kecerahan dan konsentrasi oksigen terlarut adalah 9,61% dan 11,51% lebih tinggi dari kontrol. Konsentrasi bahan organik, amonia, nitrit dan nitrat berturut-turut 11,92%, 24,54%, 17,14% dan 15,8% lebih rendah dari kontrol. Dibanding dengan kontrol, model budidaya ini mempunyai kelimpahan fitoplankton yang lebih rendah, tetapi keanekaragaman yang lebih tinggi. Kisaran kelimpahan fitoplankton pada model budidaya ini adalah antara 2687-3235 ind/1, sedangkan kisaran indeks keanekaragaman adalah antara 0,70-0,72. Pada kontrol, kisaran kelimpahan fitoplankton adalah antara 3043-3700 ind/l, sedang indeks keanekaragaman antara 0,50-0,60. Model budidaya ini menghasilkan kelimpahan dan keanekaragaman zooplankton yang lebih tinggi dari kontrol. Kisaran kelimpahan zooplankton pada model budidaya ini adalah antara 1279-4826 ind/1, dengan indeks keanekaragaman berkisar antara 0,14-0,48. Pada kontrol, kisaran kelimpahan zooplankton adalah antara 381-1651 ind/1, sedangkan indeks keanekaragaman berkisar antara 0,12-0,55. Kelulus hidupan, berat dan panjang akhir serta produksi biomasa udang windu pada model budidaya ini berturut-turut 18,67%, 6,4%, 4,83% dan 26,61% lebih tinggi dari kontrol. Jumlah energi yang dipanen juga meningkat secara signifikan, yaitu 5 kali lebih tinggi dari kontrol.
Dengan demikian, basil penelitian pada tahap ini dapat membuktikan bahwa kehadiran Sargassum yang tidak mengalami kerusakan bermanfaat menghambat penurunan kualitas air tambak yang terjadi selama waktu budidaya. Kehadiran Sargassum juga dapat meningkatkan kompleksitas struktur komunitas, produktivitas udang windu dan jumlah energi yang dipanen.Model budidaya ganda udang windu-Gracillaria dapat meningkatkan kualitas air tambak, produktivitas udang windu dan jumlah energi yang dipanen lebih tinggi dibanding dengan model budidaya udang windu-Sargassum. Dengan Gracillaria, kecerahan air tambak, konsentrasi oksigen dan pH berturut turut 20,35%, 26,53% dan 6,5% lebih tinggi dari kontrol. Konsentrasi bahan organik, amonia, nitrit dan nitrat dalam air tambak beturut turut 18,81%, 60,91%, 28,57% dan 36,84% lebih rendah dari kontrol. Model budidaya ini, mempunyai kelimpahan fitoplankton yang lebih rendah dan keanekaragaman yang lebih tinggi dari kontrol. Kisaran kelimpahan fitoplankton pada model budidaya ini adalah antara 2118 hingga 2495 ind/l, sedangkan kisaran indeks keanekaragaman adalah antara 0,67-0,80. Pada kontrol, kisaran kelimpahan fitoplankton adalah antara 3043-3700 ind/l, sedang indeks keanekaragaman antara 0,50-0,60. Kelimpahan dan keanekaragaman zooplankton pada model budidaya ini juga lebih tinggi dari kontrol, dengan kisaran kelimpahan zooplankton antara 762-2286, dan indeks keanekaragaman berkisar antara 0,42-0,67. Pada kontrol, kisaran kelimpahan zooplankton adalah antara 381-1651 ind/l, sedangkan indeks keanekaragaman berkisar antara 0,12-0,55.
Kelulus hidupan, berat, dan panjang akhir serta produksi biomasa udang windu pada model budidaya udang windu-Gracillaria berturut turut 24,30%, 32,80%, 4,83% dan 66,43% lebih tinggi dari kontrol. Jumlah energi yang dipanen pada model budidaya ini juga meningkat secara signifikan, yaitu 13,8 kali lebih tinggi dari kontrol, dan 2,7 kali lebih tinggi dibanding dengan model budidaya udang windu-Sargassum.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kehadiran Gracillaria dapat menghambat penurunan kualitas air tambak yang terjadi selama budidaya, meningkatkan produktivitas udang windu dan jumlah energi yang dipanen lebih tinggi dibanding dengan Sargassum. Diperkirakan, hal ini disebabkan karena pertumbuhan Gracillaria (103% per bulan) jauh lebih tinggi dibanding dengan Sargassum (21,6% per bulan). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Gracillaria lebih tepat untuk digunakan dalam budidaya ganda dengan udang windu, dibanding dengan Sargassum. Oleh karena itu, penelitian inidilanjutkan ke tahap ke tiga, yang bertujuan untuk meningkatkan peranan Gracillaria dalam memperbaiki kualitas air tambak, membentuk struktur komunitas yang lebih kompleks, meningkatkan produktivitas udang windu dan jumlah energi yang dipanen, melalui variasi kerapatan Gracillaria yang digunakan untuk budidaya ganda dengan udang windu.
Hasil penelitian tahap ketiga menunjukkan bahwa, semakin rapat Gracillaria yang digunakan untuk budidaya ganda dengan udang windu, kualitas air tambak, kompleksitas struktur komunitas, produktivitas udang windu dan jumlah energi yang dipanen semakin meningkat. Kerapatan Gracillaria meningkatkan kecerahan (r,548; p-9,000), konsentrasi oksigen (r41,533; p-9,000 dan pH air tambak (r-A),406; p 0,000).. Kerapatan Gracillaria berkorelasi negatif dengan konsentrasi bahan organik total (r),699; p=0,000), amonia r=-0,420; p=0,000), nitrit (r=-0,421; p=0,000) dan nitrat (r=-0,415; p=0,002).
Semakin rapat Gracillaria kompleksitas struktur komunitas semakin meningkat, yang ditunjukkan dengan meningkatnya keanekaragaman fitoplankton dan zooplankton.
Produktivitas udang windu semakin meningkat dengan meningkatnya kerapatan Gracillaria. Kerapatan Gracillaria berkorelasi positif dengan kelulus hidupan udang windu (r = 0,35), berat akhir (r = 0,40), panjang akhir (r = 0,44) dan produksi biomasa udang windu (r = 0,45).
Kerapatan Gracillaria berpengaruh positif terhadap jumlah energi yang dipanen. Semakin tinggi kerapatan Gracillaria, jumlah energi yang dipanen semakin meningkat. Kerapatan Gracillaria berkorelasi positif tidak signifikan dengan aliran energi ke biomassa udang windu (r = 0,42), tetapi berkorelasi positif sangat signifikan dengan aliran energi ke biomasa Gracillaria (r = 0,95**), sehingga kerapatan Gracillaria secara signifikan berkorelasi positif dengan jumlah energi yang dipanen (r = 0,98**).Akibatnya, kerapatan Gracillaria secara signifikan pula, berkorelasi negatif sangat signifikan dengan jumlah energi yang terbuang sebagai limbah nutrisi ( r = 0,98**).

4. Prosedur Aplikasi dan Pengembangan
Keberhasilan akuakultur tergantung kepada sejumlah faktor, antara lain kualitas air. Penurunan kualitas air akan menghambat pertumbuhan dan menurunkan derajat imunitas ikan terhadap penyakit.
Penerapan rumput laut dalam sisitem budidaya dengan cara menenpatkan rumput laut sebagai biofilter dalam tempat budidaya, dengan harapan rumput laut dapat menyerap kandungan bahan-bahan berbahaya yang dapat mengancam kelulushidupan biota yang dipelihara.Penerapan sistim tertutup (close system) atau resirkulasi diyakini mampu mengatasi permasalahan kualitas air dan pencemaran produk perikanan oleh bahan berbahaya, proses semacam ini dapat dilakukan hingga 11 tahun dengan penggunaan air laut yang sama sebagaimana dilakukan di Distrik Banpho, Thailand. Air laut yang sudah digunakan dialirkan ke dalam kolam mangrove yang ditanami dengan algae makrofita untuk keperluan sedimentasi dan dekomposisi materi organik. Air laut selanjutnya digunakan untuk pemeliharaan Artemia, dilanjutkan dengan mengalirkan kedalam bak penampungan untuk pengaturan salinitas dan kualitas air lainnya sebelum digunakan untuk budidaya udang Penaeus monodon. Usaha tersebut berhasil menekan biaya operasional secara signifikan, menekan penggunaan obat-obatan dan khemikalia, dan menghasilkan pendapatan tambahan dari Artemia dan algae makrofit yang dipanen.
Yang dimaksud dengan sistem resirkulasi tertutup adalah suatu cara pengelolaan tambak dengan cara mengisolasi unit tambak yang digunakan untuk kegiatan budidaya dari perairan luar. Selama proses budidaya tidak dilakukan pemasukan air dari luar unit tambak yang dikelola. Pengisian air dari luar tambak dilakukan satu kali saja, kecuali bila terjadi penurunan kuantitas air yang disebabkan oleh kebocoran ataupun penguapan. Tujuan penerapan sistem ini adalah mencegah terjadinya kontaminasi limbah ke dalam petakan pemeliharaan yang berasal dari luar, misalnya ini didasarkan atas kenyataan di lapangan bahwa penurunan kualitas lingkungan pesisir akibat dari pembuangan berbagai limbah.
Prinsip kerja dari sistem resirkulasi tertutup ini adalah bahwa limbah yang berasal dari petakan pemeliharaan dialirkan ke petakan pengendapan, setelah partikel-partikel mengendap kemudian diberi perlakuan (treatmen) agar kualitas air yang dihasilkan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Di dalam petakan treatment ini air dikapur, diberi pupuk dan perlakuan lainnya agar kualitas sesuai dengan persyaratan bagi budidaya. Air hasil treatment tersebut kemudian dialirkan lagi ke petak pemeliharaan.

5. Kesimpulan
Dari basil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa rumput laut dapat berfungsi sebagai faktor pemicu, atau organisme perekayasa budidaya / "ecosystem engineer" (Lawton and Jones, 1995), untuk memperbaiki kualitas air tambak, membentuk struktur komunitas komunitas yang lebih kompleks, meningkatkan produktivitas udang windu dan jumlah energi yang dipanen. Jenis rumput laut menentukan efektivitas fungsi sebagai faktor pemicu. Gracillaria dapat meningkatkan kualitas air tambak, produktivitas udang windu dan jumlah energi yang dipanen lebih tinggi dibanding dengan Sargassum. Semakin tinggi kerapatan Gracillaria kualitas air tambak, kompleksits struktur komunitas, produktivitas udang windu dan jumlah energi yang dipanen semakin meningkat.

Daftar Pustaka
Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Penerjemah: Samingan, T dan B. Srigandono. Gajahmada University Press. Yogyakarta.824 hal.
Digilib.sith.itb.ac.id/go.php